Saturday, March 3, 2007

Pelayanan Butuh Pengorbanan

Turun dari pesawat Garuda Batam-Jakarta, saya berniat untuk merubah kebiasaan yang dulunya selalu naik Damri menuju hotel tempat saya menginap, dengan coba2 menaiki taxi yang namanya silver bird, yach sekali-kali boleh khan merubah strata sosial dari kelas ekonomi ke kelas executive menengah, kalau yang terlalu tinggi kayaknya nggak bisa dan belum mampu.

Setelah menunggu pesanan kira-kira 10 menit, sebuah sedan hitam berhenti ditempat saya menunggu dan layaknya seorang executive saya dibukakan pintu dan dipersilahkan masuk dan duduk dijok belakang, tidak seperti biasanya, saya lebih senang duduk di samping pak supir, tapi kali ini karena udah niat untuk sedikit bergaya borju, saya hilangkan kebiasaan itu.

“ selamat malam pak”, sapa sang supir dengan ramah kepada saya
“ Selamat malam “ jawab saya
Kemudaian sang supir langsung memperkenalkan namanya dan jenis taxinya kepada saya, wach…nggak pernah-pernahnya saya naik taxi yang supirnya begini, professional dan terkesan sangat ramah dan bersahabat.

Mendapat perlakuan yang demikian menyenangkan, tentu saja membuat saya tersanjung dan kagum atas sikap seorang supir taxi yang begitu ramah dan menyenangkan ini, sehingga timbul di dalam hati saya untuk mengulangi lagi kesempatan ini di lain waktu nantinya.
Selain keramahan yang diberikan sang supir yang belakangan saya ketahui bernama Edy ini, cara melayani yang diberikannya untuk memuaskan pelanggan bukan hanya dari sikap dan tutur-katanya yang santun tapi juga dari semua accessories taxinya dilengkapi dengan hal-hal yang memanjakan pelanggan, misalnya di sandaran jok depan diselipkan berbagai majalah edisi terbaru, (termasuk majalah playboy terbitan Indonesia) tissue, air mineral dan yang lebih unik lagi diantara 2 kursi depan disajikan sekeranjang kecil buah-buahan lokal seperti salak, jeruk, rambutan dll, wach…wach… betul-betul membuat saya terkagum-kagum atas ulah supir taxi ini.

“ apa semua taxi silver bird pelayanannya seperti ini pak ?, Tanya saya ingin tau
“ Nggak pak, “ ini adalah inisiatif dari saya sendiri untuk menyenangkan pelanggan-pelanggan saya dan membuat kesan tersendiri tentang saya…., jawab pak supir yang berpenampilan bersih dan rapi ini.
“ kira-kira, berapa pak biaya yang bapak anggarkan untuk semua ini ”, lanjut saya ingin tau lebih detail
“ ya nggak besar sih pak, lebih kurang kalau dihitung bulanan untuk ini semua tidak lebih dari 30 ribuan perhari “
Wach gede juga ya pak, untuk penghasilan seorang supir taxi, uang 900 ribu perbulan itu khan banyak ?
Saya nggak masalah sich pak, yang penting pelanggan saya senang, dan karena kesenangan yang mereka alami, kadang-kadang saya sering dikasih uang tip yang tidak sedikit dan menjadikan taxi saya ini sebagai langganannya, kan kompensasinya kesana pak, kata pak supir bagaikan seorang ekonom yang sering saya liat di tv-tv.
Kalau soal untung ruginya sich saya nggak pernah itung, tapi dari sisi persaingan sesama supir silver bird gaya dan cara saya ini dibilang over acting, cari muka dengan pimpinan dan bahkan ada yang bilang saya gila.

Sepenggal pengalaman tadi menggugah saya untuk memberikan apresiasi ke supir taxi ini, dengan menuliskan beberapa baris kata dalam buku penumpang yang juga disediakan oleh sang supir, yang menurut dia sebagai data untuk mengevaluasi diri.

Bercermin dari sikap dan cara yang dicontohkan oleh supir taxi ini, kondisi pelayanan publik di negara kita ini sebenarnya mudah untuk diperbaiki, asal pelaku pelayanan publik mau sedikit saja berkorban, pertama : berkorban untuk tersenyum dan bersikap ramah dengan pengguna jasa, siapapun dan apapun kelasnya, kedua : berkorban untuk sedikit memahami keinginan pelanggan, (biasanya, cepat, mudah dan murah) dan yang ketiga : berkorban untuk merenung bahwa saya ini diangkat dan digaji oleh pemerintah, atau negara, atau perusahaan ini sebagai pegawai, karyawan adalah untuk bekerja melayani masyarakat, orang, atau pengguna jasa. Mungkin menjadi pertanyaan dari pembaca, kenapa sih penulis menggunakan kata “ berkorban “ ?., jawabnya karena ketiga prasyarat yang penulis kemukakan diatas bukan lagi sifat kita, bukan lagi budaya kita, bukan lagi jati diri kita, bukan lagi way of lifenya bangsa ini, semuanya itu sudah bukan kita dan tidak ada, makanya untuk menjadikan dia ada, menjadikan dia menjadi way of lifenya bangsa ini, kita dituntut untuk berkorban, sebagaimana yang dialami oleh supir taxi tadi, bahwa bersikap berbeda dalam memberikan pelayanan mungkin saja saat ini sudah dianggap aneh dan bahkan sinting, makanya sang supir taxi dianggap gila, nauzubillah …..

Bersikap ramah dengan masyarakat, lingkungan dan bahkan dengan hewan sekalipun pasti akan memberikan dampat positif yang sangat berharga dan bermanfaat bagi diri kita pribadi, misalnya dari sudut pandang agama, sudah dapat dipastikan kita akan disayang oleh Allah dan malaikat-malaikatnya, karena itu memang perintahnya, kemudian dari sudut pandang sosial, sudah dapat dipastikan kita akan disenangi orang, selanjutnya dari sudut pandang kesehatan, sudah pasti orang yang ramah, menyenangkan dan selalu berusaha untuk membuat orang puas lebih sehat dibandingkan dengan orang yang sering membuat orang kesal dan marah, nggak percaya silahkan anda mencoba, wajah orang yang ramah pasti lebih menarik, cantik dan tampan dibandingkan dengan wajah orang yang sombong, angkuh dan sok kuasa, pokoknya dapat dipastikan bahwa membuat orang puas, gembira, bahagia, senang, mengerti, tidak merasa dibohongi dan dibodohi akan memberikan kompensasi positif kepada diri pribadi, TANYA KENAPA ….?,

1 comment:

Anonymous said...

Bpk benar..kalau kita mau merenungkan kembali ttg keberadaan kita yang telah memutuskan untuk komit sebagai pelayan publik maka sebenarnya tidak perlu ada kata pengorbanan,karena sebenarnya itu adalah kewajiban yang harus dijalankan secara iklas.Sebagai pelayan publik, penggunajasa/pelanggan adalah tuan kita.
Kalau saya membaca tulisan-tulisan Bpk, saya teringat dengan catatan pinggirnya Gunawan Muhammad. Tulisannya menarik, ringan,enak dibaca,mudah dicerna(tidak banyak teori),menyentuh permasalahan manusia saat ini,dan penuh idealisme. Saran pak! bagaimana kalau sekali waktu bapak ulas masalah disiplin..bisa disiplin pegawai atau mungkin secara luas disiplin masyarakat secara umum.Maaf pak, saya sendiri tidak berbakat menulis, tetapi saya senang membaca tulisan siapa saja, terutama seperti tulisan-tulisan Bpk :).
masrial.

Powered By Blogger