Thursday, March 22, 2007

Mengemis, sebuah wujud dari Budaya Malas

Hampir disemua per-empatan jalan, tepatnya di sekitar wilayah bangjo (traffic- light) setiap hari dan bahkan sampai dini hari kita melihat pemandangan yang menyedihkan tentang sebuah masa depan generasi kita, yaitu pengemis jalanan anak-anak. Keberadaan mereka bukan hanya di ibukota, hampir disemua wilayah perkotaan di Indonesia hal itu dapat dipastikan ada.

Yang menjadi pertanyaan, “ mengapa mereka disana…?” dan “ adakah yang peduli dengan meraka….? ”, beragam jawaban beserta janji pernah kita dengar, namun jawaban itu hanya berwujud retorika belaka, yg belum dan entah sampai kapan akan berwujud nyata.

Mengapa mereka disana….?, pertanyaan ini selalu menghantuiku dan memintaku untuk menjawabnya…, naluri tugasku sebagai pemberi pemberdayaan kepada masyarakat berusaha untuk mengusik, menilik dan membidik mereka dengan caraku dan analisaku sendiri tanpa referensi pada makalah, karya tulis dan bahkan mungkin textbook tentang peoples empowerment yang menumpuk dan tersusun rapi dimejaku karena aku malas membacanya.

Jawaban yang bisa kuberikan adalah “ karena mereka malas dan dimalaskan oleh situasi dan budaya…!!! ”. Malas cenderung membuat kita kehilangan harga diri, malu, menurunnya etos kerja dan yang lebih tragis lagi, kita kehilangan nilai-nilai luhur yang difitrahkan tuhan kepada kita.

Kemiskinan bukan penyebab utama munculnya pengemis jalanan ini, tidak sedikit orang miskin yang mau bertukus lumus mengais rejeki dari tumpukan sampah, berjalan berkilo-kilo meter menjajakan jasa untuk membersihkan apa saja yg patut dibersihkan, memperbaiki apa saja yg patut diperbaiki, dan semua pekerjaan terpuji lainnya demi menghidupi keluarganya, demi SPP anak-anaknya, dan demi kelangsungan tetap bertenggernya periuk nasi diatas tungku-tungku perapian sebagai harapan bagi keluarganya. Apakah mereka mencari jalan pintas dengan cara mengemis…?, ternyata tidak, pantang bagi mereka melakukan itu, karena di dalam jiwanya masih ada semangat untuk bekerja dan rasa malu, walau seberat apapun pekerjaan itu.

Pekerjaan memang tidak bisa ditunggu datangnya, tetapi ia harus dicari dan diciptakan, mencari dan mencipta hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang rajin dan kreatif, bagi sipemalas, mencari dan mencipta tidak ada dalam kamus hidupnya.
Kemudian budaya kasihan, iba, nggak tegaan, takut adalah budaya yang ada dalam diri kita yang membuat kemalasan itu tumbuh subur di bumi ini. Tanpa kita sadari budaya ini ikut menciptakan lapangan kerja yang namanya NGEMIS…!!!, coba kita tinggalkan budaya ini sebulan atau 2 (dua) minggu saja, yakin dan percaya semua pengemis akan hilang dan berkurang di negeri ini, “ lho koq segitu yakinnya sich…?”, jangan protes dulu, coba sama-sama kita pikirkan, kalau semua orang tidak lagi kasian dan iba dengan cara tidak memberi uang atau sesuatu kepada pengemis, kira-kira masih mau nggak selama sebulan atau 2 (dua) minggu mereka nongkrong disana untuk sekedar menadahkan tangan, tanpa seorangpun yang mau memberi…?, karena mereka manusia yang diberikan oleh Tuhan akal dan pikiran, maka dalam kondisi yang begini mereka pasti akan menggunakannya, kemudian akan berkata “ngapain gue disini, gak ada yg ngasih duit lagi koq…” umpan baliknya adalah timbulnya inisiatif untuk mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhannya, soal pekerjaan lain itu berdampak munculnya persoalan sosial lainnya, itu nanti kita bahas kembali, yang penting saat ini kita focus dulu kepersoalan pengemis, setuju…?. Teori mengatakan kalau Suplay sudah terputus Demand pun akan mati. Sepanjang suplay and demand ini masih berlangsung dapat dipastikan PENGEMIS itu akan tetap ada dan mungkin bertambah.

Tidak manusiawi rasanya kalau aku menganjurkan orang-orang untuk tidak bersikap kasian, iba, eman, terlebih kepada pengemis, tapi demi terciptanya generasi bangsa yang rajin dan kreatif nggak ada salahnya cara ini kita coba terapkan. Sikap kasian, iba, peduli dan semua sikap-sikap baik itu salurkan saja ke tempat-tempat yang tepat dan pilih pengelolanya diyakini amanah. Sikap tidak memberikan sesuatu kepada pengemis ini, harus kita budayakan, bukan hanya kepada pengemis butut, bauk, jelek, dekil saja, tetapi juga kepada pengemis berdasi, bersafari dan berseragam yang juga ada dan banyak jumlahnya di negeri ini.

Kemudian dari pertanyaan kedua “ adakah yang peduli dengan meraka….? ”, jawabnya ada dan banyak. UUD 1945 baik yang lama maupun yang sudah diamandement mengamanatkan agar pemerintah peduli kepada rakyat miskin dan orang-orang terlantar, sekarang mungkin aja belum kelihatan kiprahnya, tapi yakinlah suatu saat hal itu akan terwujud. Sekali lagi aku perlu tekankan, bahwa semua upaya, niat baik, program pemberdayaan masyarakat tidak akan bermakna kalau rakyat lemah dan malas.

Pesawat Jatuh

Membaca buku “ merenung sampai mati”, karangan Prie GS, kadang-kadang membuat saya ketawa, sedih, merinding dan terkadang haru. Dalam salah satu tulisannya dalam buku itu yg berjudul “ Pesawat Jatuh “ menarik untuk saya ulas dan ceritakan kembali disini.

Pesawat Jatuh, bagi Prie GS, adalah sesuatu yg lumrah dan wajar-wajar saja, karena setiap yg bermain diketinggian harus siap jatuh, jadi jatuhnya pesawat adalah kodrat, layaknya kodrat manusia hidup adalah kematian. Memaksakan pesawat utk terus menerus terbang dengan selamat sama halnya dengan memaksa manusia terus menerus hidup.

Di dalam paragraph lain dari tulisan ini, dia mengajak kita semua untuk merubah gaya dan cara pandang kita pada saat akan menaiki pesawat, yaitu dengan menganggap dan membayangkan bahwa pesawat adalah peti mati massal, sehingga didalam lambung pesawat, STOP.....!!! semua pembicaraan dunia, karena kematian hanya berjarak sekian millimeter disamping kita.

Sekilas pendapat-pendapat dari tulisan ini sepertinya membenarkan alasan dari pejabat terkait tentang penyebab terjadinya beberapa musibah dan kecelakaan yang melanda negeri ini yang mengatakan bahwa “ ini musibah ”. Diluar konteks pembenaran dan pembelaan terhadap pihak-pihak terkait, pendapat ini nggak ada salahnya kalau kita renungi dan hayati secara naluriah.

Kecelakaan, musibah dan bencana yg silih berganti menimpa negeri ini, sebenarnya adalah cara Tuhan untuk meminta kita berpaling sejenak dari hal-hal yang selama ini menurut kita adalah kewajaran dan kelumrahan ternyata TIDAK bagi Tuhan, bukankah selama ini kita selalu menganggap bahwa :
Keselamatan yang kita alami adalah akibat dari kecanggihan teknologi transportasi semata….?
Kesehatan yang kita rasakan adalah akibat dari kecanggihan dibidang farmasi dan kedokteran semata…..?
Kepintaran dan kepandaian adalah akibat dari majunya system pendidikan dan terpenuhinya Gizi….?
Berangkat ketanah suci Mekkah menjalankan ibadah haji karena saya punya uang….?
Saya seperti dan kaya begini, karena selama ini saya giat bekerja, hemat dan sebagainya dan sebagainya alasan dikemukakan dan dijadikan penyebab mengapa hal itu terjadi….
Jarang dan langka sekali kita dengar saat ini, jika itu hal yg menyenangkan dan menggembirakan, orang membawa nama SANG PENCIPTA sebagai penyebabnya, tetapi pada saat musibah datang, kesusahan dan kesulitan membebani, penyakit menggrogoti, nama SANG PENCIPTA selalu terdengar, “ ini adalah kehendak Tuhan ”

Sudah saatnya kita semua, bukan hanya bertobat, tetapi kembali menatap bukan hanya dengan mata lahir, karena mata lahir ini sudah sering tersilaukan oleh cahaya dunia, tetapi harus kita gunakan juga mata hati yang insya Allah belum terkontaminasi oleh racun dunia.
Berdirinya Borobudur, Taj Mahal, Menara Eiffel, Pisa, Monas atau Tembok Besar Cina, dan kemajuan teknologi diberbagai bidang, bukanlah keajaiban dunia semata, tetapi adalah berkat keajaiban Tuhan yg memberikan secuil ilmunya kepada manusia, jadi sudah sepatutnya kita bersyukur kepadaNya.
Powered By Blogger