Tuesday, April 24, 2007

Batam Menuju Kota Madani...?

Jika anda pernah ke Batam, apa yang anda lihat…?, pertama mungkin Bandara Hang Nadim yang megah, atau pelabuhan Sekupang jika anda berangkat menggunakan kapal laut, kemudian setelah berjalan kurang lebih 10 menit dengan kecepatan kendaraan yang anda naiki rata-rata 40 – 60 Km per jam, yang terlihat adalah hamparan lahan yg telah dibangun perumahan dan ruko-ruko, lahan-lahan kosong, bangunan-bangunan gedung yang tidak siap alias ditinggalkan atau tidak diselesaikan, kemudian beberapa kawasan industri, pemukiman yang tidak teratur yg terkesan kumuh yang disini diistilahkan dengan sebutan “ RULI “ atau “Rumah Liar” walaupun kenyataannya dihuni oleh mahluk Tuhan yang tidak liar dan tidak juga jinak, karena istilah ini sebenarnya tidak pas untuk manusia, istilah liar dan jinak lebih tepat digunakan untuk mahluk Tuhan yang bukan manusia, tapi entah kenapa…, istilah ini malah yang dipake dan digunakan…

Membahas tentang pembangunan wilayah perkotaan memang bukan bidang saya, karena saya sedikitpun tidak pernah belajar tentang planologi, tata kota dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perencanaan wilayah, sehingga saya tidak dapat membuat penilaian apakah pembangunan kota ini sudah sesuai dengan konsep-konsep pembangunan yang diinginkan atau sudah sesuai dengan misi dan visi Kota Batam yang “MADANI” jangan salah baca “ medeni ” yang artinya menakutkan.

Dilihat dari efisiensi dan optimalisasi penggunaan lahan, kebijakan pembangunan Kota Batam yang lebih berorientasi pada penggunaan lahan secara horizontal, khususnya untuk membangun kawasan perumahan dan pertokoan/ruko perlu dikaji ulang kembali, karena berdasarkan kondisi wilayah yang sangat diminati, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dan luas persediaan lahan yang sangat terbatas, kebijakan yang mengeksploitasi tanah secara horizontal ini tentu saja akan mengorbankan lahan-lahan yang seharusnya diperuntukkan untuk ruang publik (fasilitas umum dan sosial) yang sangat diperlukan untuk mewujudkan suatu kota madani.
Seorang teman dari Jakarta pernah bilang, ternyata Kota Batam sama seperti kota-kota berkembang lainnya di Indonesia “tidak berpihak kepada rakyat kecil dan orang-orang tua”, lho kenapa begitu ?, dalam sebuah diskusi teman itu membeberkan beberapa fakta :

Pertama : Batam pada kenyataannya tidak punya satupun taman kota, tempat kita bersantai, bercengkerama, atau berbual setelah penat bekerja…,
"sudah 2 hari saya disini, saudara hanya mengajak saya bersantai di mall dan cuci mata ke toko-toko , padahal saya kesini bukan utk shopping, karena kalau tujuan kesini untuk itu, ngapain saya kesini. di Jakarta tempat shopping itu ada di semua sudut dan pojok kota", begitu katanya memperkuat argumentasi.
"lho kalau Bapak kesini untuk santai, ya nggak pas pak.., Batam memang disetting untuk wisata belanja", potong saya guna memancing lebih banyak lagi pendapat beliau
"kalau diset menjadi kota wisata belanja seharusnya tidak seperti ini, coba anda liat, pelayanan, harga dan kenyamanan, tidak lebih baik dari kota-kota lain, bahkan disini lebih mahal dan tidak banyak pilihan", betul juga ya kalau dipikir-pikir….

Kedua : Batam tidak berpihak kepada orang-orang tua atau yang sudah berusia lanjut…, “kira-kira dari segi apa Bapak melihatnya “ pancing saya memulai kembali pembicaraan yang terpotong akibat pandangan kami tertuju kepada salah seorang wanita yang tidak begitu cantik, tapi berpakaian sangat sexy melintas dihadapan kami sambil memeluk mesra pasangannya, yang jika dilihat dari stylenya adalah orang dari seberang (Singaporean).
saya yakin, kalau orang tua anda kesini, dia pasti nggak bakalan betah berlama-lama disini…, paling-paling 1 minggu saja dia udah minta pulang kampung
kata teman saya tadi memulai diskusinya, lho kenapa…?,
karena kota anda membuat dia merasa terkucil dari lingkungannya, anda hanya bisa menghibur mereka dengan duduk-duduk dirumah yang rata-rata luas lahannya terbatas dan di mall-mall yang sebenarnya tidak untuk konsumsi orang tua

Ketiga : Batam tidak berpihak pada rakyat kecil, terutama pedagang kecil seperti pedagang kaki lima, tempat berusaha dipaksakan hanya pada ruko-ruko dan mall, sementara pasar-pasar tradisonal hampir tidak pernah terpikirkan keberadaannya. Sebuah ruko dengan harganya yang semakin meroket, merupakan mimpi buruk bagi para pedagang kecil untuk memilikinya atau menentukan alternatif sebagai tempat berniaga, sementara berniaga disembarang tempat adalah neraka bagi mereka jika berhadapan dengan Trantib, Tibum atau Satpol PP. Kemana dan dimana mereka akan berniaga…?, alternatif terakhir adalah kenekatan dengan menggelar dagangannya pada tempat-tempat terlarang dengan resiko bersama-sama berhadapan dengan yang namanya ketertiban.

Keempat : Akses tanah dikawasan Pulau Setokok, Rempang, Galang dan Galang Baru serta pulau-pulau kecil disekitarnya, seperti sengaja dibiarkan sebagai objek spekulatif para spekulan. Bibit-bibit konflik dibidang pertanahan terlihat tumbuh subur dan siap membesar yang akhirnya berbuah sengketa-sengketa pertanahan yang tentu saja nantinya akan kita panen sendiri. Sejarah dan pengalaman membuktikan bahwa konflik dan sengketa pertanahan tidak mudah diselesaikan. Konflik-konflik dan sengketa dibidang ini dampaknya dan multiplier effectnya sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi, Politik, Sosial, Budaya, Hukum dan Hankam.
Penetapan wilayah Rempang, Galang dan Galang Baru sebagai wilayah yang status pertanahannya di “Status-Quo” kan, disamping melanggar hak-hak keperdataan masyarakat yang bermukim disana, karena ketidak jelasan status hukum tanah mereka, juga merupakan pengingkaran dari amanat UUD 1945 yang mengharuskan kita untuk menjadikan tanah sebagai salah satu sumber daya alam yang memberikan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Di era “Reforma Agraria” yang saat ini sedang hangat-hangatnya dikampanyekan dan diprogramkan oleh Bp. Joyo Winoto, Ph.D sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional R.I.
Efisiensi, optimalisasi, revitalisasi dan rekstrukturisasi bidang pertanahan, khusus untuk tanah-tanah di wilayah Administrasi Kota Batam, mulai hari ini sudah seharusnya direalisasikan dan diejawantahkan dalam kegiatan dan kerja nyata, berbagai kebijakan lama yang sudah terasa basi, sudah seharusnya kita daur ulang dan kalau perlu dibuang sebagai sejarah kelam masa lalu. Kebijakan baru yang lebih berpihak dan taat kepada Tertib Administrasi, Tertib Hukum, Tertib Penggunaan dan Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup sudah seharusnya kita jadikan pedoman di dalam menata dan mengatur pertanahan di wilayah ini, sehingga tanah akan benar-benar memberikan kemakmuran bagi bangsa ini, amin.

Sunday, April 22, 2007

BERGURU KEPADA ALAM

Musibah, Kesulitan, Penyakit, atau sesuatu yang tidak kita inginkan terkadang kerap menyapa dan mampir dalam kehidupan kita. Kemudian kita berkeluh-kesah, mengeluh dan bersungut-sungut serta mengumpat bahwa ini adalah hukuman, bahwa ini adalah bentuk kebencian tuhan pada kita, bahwa ini adalah yang tidak seharusnya ditimpakan kepada kita dan berbagai omelan yang kita tujukan kepada diri kita, tuhan dan mungkin juga kepada orang-orang dan benda-benda disekeliling kita.

Sesuatu yang tidak kita inginkan memang tidak selamanya dapat kita tolak atau hindari, karena secara kodrati, ia memang harus datang, harus kita alami dan rasakan dan sekali-kali layak kita undang kehadirannya untuk sejenak bercerita, bergurau dengan canda-tawanya, mendengar tausiah-tausiahnya, berdiskusi dan berdebat, bahkan tidak tertutup kemungkinan kita juga perlu bertengkar dan berkelahi dengannya.

Memaknai dan belajar dari sesuatu yang tidak kita inginkan yang terjadi dan sedang menimpa kita, seharusnya memang sering kita lakukan, karena secara tidak kita sadari sesuatu yang tidak kita ingini itu, jika dilihat melalui mata bathin dan mata hati, banyak sekali memperlihatkan kepada kita sesuatu yang indah, sesuatu yang membuat kita tahu dan berpengetahuan dan sesuatu yang membuat kita tersenyum, merengut, marah dan pemaaf.

Tidak lagi diperlukan, tidak menjadi orang penting lagi, “ laskar tak begune ”, dicuekin, terbaring sakit, dan berbagai peristiwa yang tidak kita inginkan, pasti akan dialami oleh seluruh manusia yang hidup dan berprofesi, peristiwa ini harus tercatat dalam partitur nada orchestra kehidupan ini, tanpa dia, nada kehidupan akan sumbang dan hambar.

Bukankah tidak lagi diperlukan mengajari kita tentang arti dan makna hakiki dari enaknya diperlukan dan tidak enaknya tidak diperlukan…?
Bukankan Sakit mengajari kita tentang arti dan makna hakiki dari nikmatnya kesehatan dan tidak enaknya sakit...?
Bukankah masa Tua mengajari kita tentang arti dan makna hakiki dari enaknya masa Muda dan tidak enaknya masa Tua…?
Bukankah masa Paceklik mengajari kita tentang arti dan makna hakiki dari enaknya masa Panen dan tidak enaknya masa Paceklik…?

“Alam takambang jadi guru” begitu pepatah Minangkabau memberikan petuah kepada kita, bahwa alam ini harus menjadi guru bagi kita. Melalui Guru alam ini memang tidak mudah kita belajar, karena untuk memahami sebuah ke“ada”an dia acapkali memperlihatkan ke“tidak-ada”an. Sesuatu yang berliku, menukik, terjal dan tajam menurut kita, kadang berbeda makna menurut Guru Alam.

Mengapa kita harus berkeluh kesah, marah, jengkel, menggerutu, stress, bete, dan sebagainya…?, pada saat sesuatu yang tidak kita ingini mendera dan menghantui kehidupan kita.
Mengapa kita harus tertawa terbahak-bahak, lupa diri, pesta pora, sombong, ria, dan sebagainya…?, pada saat sesuatu yang kita ingini dapat kita raih dan berpeluk mesra dengan kehidupan kita.
Mengapa tidak dari saat ini saja kita belajar dari Guru Alam…?
Powered By Blogger